BATU
MERAH SEMERAH DARAH
karya Jihan N. Sari S.Pd.
Langit
bening biru tanpa awan hitam disana. Kulihat betapa panasnya hari ini, tepat
jam 13.00 wib. Ku gandeng tanganya yang kasar karena setiap hari selalu
bekerja. Dia seorang wanita paruh baya sambil membawa gendongan kayu bakar.
“Ayo, cepat sedikit nak”
Kata ibu kepadaku.
“iya ibu” kataku pilu
sambil membawa parang bekas memotong kayu bakar di hutan.
Ibuku seorang petani
dan ayahku seorang pembuat batu bata merah.
Terdengar
bunyi berisik daun kering yang tak sengaja kami injak. Pohonpun menjerit
kepanasan karena tak ada daun yang bisa meneduhkannya. Terlihat gersang tapi
terang. Kugandeng tangan ibu lagi dan lagi sambil bercerita.
“Dimas,
kamu tau sendiri kan ,kita ini hidup pas-pasan. Kamu belajar yang rajin ya
supaya masa depanmu nanti tidak seperti kami. Masa depan harus kamu tentukan
dari sekarang.”
“Bu,
sesungguhnya aku ingin mengangkat derajat ibu dan Ayah. Aku ingin memberikan
hadiah jubah surga nanti”.
“anakku
sayang, ibu sudah bangga kepadamu karna kamu satu-satunya anak laki-laki yang
penurut dan apa adanya. Tidak malu dengan kondisi ekonomi kita. Meskipun banyak
teman sekelasmu yang mengejek kita orang miskin. Kamu satu-satunya anak harapan
kami.”
“Bukankah
orang kaya atau miskin sama saja di hadapan penciptanya kelak? Yang membedakan
hanyalah amal ibadahnya. Jadi ibu tak usah khawatir. Lebih baik jujur dengan
keadaan daripada kita menyombongkan harta yang belum tentu awet.”
“Nak,
nanti jika kamu sukses jangan seperti kacang lupa kulitnya. Ingat kita ini
orang dari kampung, orang yang tak punya dan dengan tekat kita nekat”
“pasti
ibu” sambil berjalan di tengah teriknya matahari, kami mengakihiri percakapan
ini.
Sesampainya di rumah, ibu
meletakkan kayu bakarnya.
“hmm”
nafas terengah-engah
“Minum
dulu bu” ayah sambil memberikan segelas air putih.
Akupun
meletakkan barang bawaanku ke tanah. Kami bertiga beristirahat di teras. Hari
tak terasa sudah semakin sore. Terlihat warna jingga, orange dan
kemerah-merahan di ufuk barat. Senja menyejukkan mata, senja itu mendamaikan
hati yang lagi bimbang. Senja juga menandakan pergantian sore kepada malam.
Malam ini seperti malam-malam biasanya. Tak ada listrik, tak ada televisi.
Hanya ada suara anjing yang menggonggong, suara jangkrik dan suara-suara yang
semakin jauh tak terdengar.
Aku,
Ayah dan ibu duduk melingkar bersama cahaya lilin kecil yang menerangi
kegelapan malam.
Ayah
membuka tutup saji seraya berkata “hari ini kita makan enak, telur balado”
“wah...
ada telur... ayah dapat dari mana” kepolosanku muncul.
“tadi
ayah ada sedikit uang untuk membeli telur. Nanti jika ada rejeki lebih kita
makan ayam” tegas Ayah kepada anaknya. Ayo Dimas makan yang banyak dan mari
kita habiskan masakan ini. Aku menoleh ke ibu, terlihat senyum yang
meyenangkan. Maklum makan telur bisa tiga bulan sekali. Karena keterbatasan
uang yang kami miliki. Telur bagi keluarga kami adalah makanan yang paling
istimewa dan mahal.
Setelah
makan kenyang, senang, tenang, rasa ini menyelimutiku. Ku lihat lagi jam
dinding yang sudah usang itu, tepat pukul 19.00 wib.
“uuuaa”
akupun menguap
“sudah
mengantuk dimas”
“Iya
ibu” kataku lirih dengan mata yang merah
“ya
sudah, selesaikan makanya dan istirahatlah. Ingat besok harus bangun pagi ke
sekolah”
“iya
ibu” selamat malam Ayah, selamat malam ibu”. Bergegas meninggalkan meja makan.
“Pak, apakah sanggup kita ini menguliahkan
anak sampai sarjana? Sedangkan keadaan ekonomi kita seperti ini. Makan pun hanya
sama ikan kering dan sambel saja.” Ujar ibu sambil menoleh kepada ayah dengan
tatapan bimbang.
“ibu,
kita percaya saja pada sang kuasa. Rejeki itu bisa kita cari asalkan kita dan
anak sama-sama berjuang untuk mewujudkan cita-cita itu. Jangan berkecil hati
bu. Meskipun hanya pembuat batu bata, saya mengorbankan diri untuk berada di
panasnya terik matahari. Dengan cucuran keringat, pedihnya mata saat bakar batu
bapak rela ibu. Asalkan anak kita tetap lanjut study nya. Toh dia pintar kan”
kata ayah meyakinkan ibu dengan memegang erat tangannya.
“tapi
pak, anak tunggal kita pasti akan pergi jauh untuk kuliah di jawa.”
“udahlah
Bu, jangan berkecil hati. Nanti Dimas juga menemukan teman dan keluarga baru di
Jakarta.”
Ku
lihat ibu pun bersandar di pundak ayah. Malam itu, kututup tirai yang menggantung di
pintu kamar. Membaringkan badan di tempat tidur yang beralaskan tikar dengan
satu bantal kusam. Aku termenung disudut kamar, memikirkan pernyataan yang
dilontarkan ortuku. Ku akui keluargaku tidak cukup uang untuk membiayaiku
sampai sarjana. Lagi-lagi karena uang. Karena uang seseorang tidak bisa masuk
perguruan tinggi yang ia inginkan, karena uang banyak orang yang saling
menghalalkan cara untuk mendapatkannya lebih, karena uang seseorang juga harus
bekerja keras. Uang...uang! kekesalanku muncul. Dalam hati tertanam, “aku tidak
bisa seperti ini. Aku mempunyai mimpi. Mimpi dan cita-cita yang harus aku
wujudkan. Dimas adalah panggilanku. Kini
aku duduk di bangku SMA kelas XII IPA.
Menyimak percakapan ayah dan ibu, akupun mulai ragu. Dalam lubuk hatiku
ku ingin belajar lebih jauh lagi agar aku bisa mengangkat derajat orang tua/
disisi lain akupun ragu dan kasian melihat kedua orang tuaku bekerja setengah
mati buatku. Ah...malam semakin larut, kupejamkan mata, ku tinggalkan perasaan
yang serba semrawut.
Dua
minggu setelah itu tepatnya tanggal 21 Juni 2007 pengumuman ujianpun sudah
diumumkan. Ada rasa senang ketika membuka amplop yang bertuliskan LULUS. Dalam
benakku akankah aku bisa menjadi seorang dokter? Seperti yang ku cita-citakan
semasa kecil. Atau menjadi orang yang tak berguna setelah SMA? siang itu akupun
pulang dengan membawa amplop putih itu. Ku kayuh sepeda Onthelku semakin kencang. Ingin segera ku kabarkan berita
bahagia ini kepada Ayah dan Ibu.
“Assalamualaikum” ku ucapkan salam
“wassalamualaikum” bagaimana
hasilnya Nak? Tanya ayah yang saat itu duduk dengan ibu di teras rumah.
“Aku
lulus....” dengan wajah kegirangan.
Ayah
dan Ibu saling bertatap muka dan ia memelukku, ia berkata “setelah lulus dari
SMA kamu mau melanjutkan sekolah lagi atau bekerja?
“sebenarnya
saya berkeinginan kuliah lagi Ayah, Ibu” kataku lirih.
“aku
ingin menjadi dokter” bolehkah aku merantau Ibu, agar aku tahu rasanya kerinduan?
“iya
Nak, ini uang untukmu” Ibu memberikan uang yang di bungkus di kain. Terlihat
beberapa lembar uang ratusan ribu.
“Ayah,
Ibu, ini uang dari mana?
“kami
kemarin pinjam di Bank BRI Nak, ayah dan ibu sudah membaca diary mu.
“tapi
...” tiba-toba kataku berhenti.
“Nak,
meskipun sekarang kita banyak hutang sana-sini, kita yakin jika kamu kelak bisa
sukses dengan kegigihanmu. Kita ini orang susah, kita hanya bisa
menyekolahkanmu saja, bukan memberimu banyak kemewahan, harta yang melimpah,
makanan enak ataupun luasnya tanah yang bisa ku berikan. Harapan kita agar kamu
kelak tidak mengalami apa yang kita alami sekarang” kata bijak Ayah. Tidak usah
kau pikirkan masalah uang. Insya Allah kalau ada niat menyekolahkan anak, pasti
ada rejeki yang tak disangka dari mana datangnya.
Runtuhlah
pertahananku, air mataku berlahan menetes, tubuhku gemetar mendengar ucapan
beliau. Ku tatap wajah sendu itu begitu meneduhkan. Wajah yang semakin keriput,
kulit yang semakin menghitam, rambut yang mulai memutih. Ku bersimpuh di kala
itu, kebetulan Ayah dan Ibu sedang duduk di depanku. Aku
menangis..menangis...dan menangis terisak-isak.
“terima
kasih perjuangannya Ayah. Keringat yang menetes di tumpukan bata merah, cucuran
darah ketika kena cangkul ataupun mesin penggiling”
“terima
kasih Ibu, kau senantiasa melindungiku dari panasnya dunia, dari dinginnya
kesepian, dari gelapnya malam. Air mata yang kau sembunyikan. Aku bakal
merindukan masakan Ibu. Ibu kau adalah wanita paling cantik dan terkuat” sambil
memeluknya.
kami
tersenyum saling menatap satu sama lain setelah menangis.
“ternyata
anak laki-laki kita sudah besar ya pak” kata Ibu kepada Ayah.
“iya
ni Bu, sudah pandai merayu, dan semoga di Jakarta mendapat jodoh yang baik
hatinya lagi santun”. Ujar Ayah sambil mengacak-acak rambutku.
Dua
bulan kemudian saya di terima di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta
dan mendapat beasiswa. Akupun mengambil program studi S1 Kedokteran. Puji syukur
ekonomi keluargaku semakin membaik sekarang. Sewaktu kuliah, aku juga aktif
dalam organisasi, dan aku juga bekerja di RS ternama di Jakarta yaitu Rs.Pondok
Indah yang terletak di Jakarta Selatan. Tuhan itu memang adil, apa yang kita minta
suatu saat bakal ia kasih. Akan tetapi nunggu waktu yang tepat. Berbagai
rintangan dan halangan sudah ku lalui. Kuliah dengan uang pas-pasan, tidak
mempunyai kendaraan sendiri, dan terkadang tidak makan karena tak punya uang.
Akan tetapi semua itu berbuah manis. Kini hasil kerja kerasku berbuah hasil, ku
bisa membeli rumah impian, mobil dan sukses.
Empat
tahun kuliah S1 di Universitas Indonesia, tak terasa akupun lulus dengan
predikat Cumlaud IPK 3,90. Banyak
pengalaman yang terasa mimpi. Bisa keluar negeri gratis karena pertukaran
mahasiswa, dan lain sebagainya. Koass, UKDI (uji Kompetensi Dokter Indonesia),Sumpah
dokter, Intership sudah terekam di otakku. Semangat belajarku muncul karena
satu hatl “mengingat perjuangan orang
tuaku sebagai seorang petani dan pembuat batu merah”. Melanjutkan profesi
dokter, itu pasti. “Sruput, ah enaknya kopi susu
menemaniku di setiap pagi hari. Pagi itu ku duduk di teras dan segera ku
ambil HP untuk menelefon orang tuaku.
Terdengar
bunyi tuuut...tuuut...tuuut...”hallo, Assalamualaikum
Dimas,”
“wassalamualaikum...Ibu,
maafkan ananda yang jarang mengirimkan surat ke Sumatera. Kabar baik yang ingin
aku sampaikan ke Ayah dan ibu” kataku.
“Apa
itu Dimas? Bagaimana kuliahmu Nak?” terdengar kata Ayah menyahut.
“Hari
kamis nanti ananda pulang untuk menjemput Ayah dan Ibu, tiket sudah aku pesan. Alhamdulillah hari sabtu minggu, ananda
Dimas wisuda” kataku semakin lirih dan terharu.
“Nak,
engkau serius kah?
“Iya
Ibu, ini surprise”
“Alhamdulillah... Terima kasih Tuhan”
ujar Ayah dan Ibu bersamaan.
“selamat
malam, bersiaplah di rumah” aku menutup telefonnya.
Waktu terus bergulir, tiba saatnya
aku jejakkan kaki di tanah kelahiranku. Ku lihat rumah itu, bangunan yang sudah
lama, tertata rapi bata merah yang menghiasi pekarangan rumah. Setelah dua hari
di Palembang, aku menggandeng tangan Ayah dan Ibu untuk ikut dan tinggal di
Jakarta. Delapan belas tahun aku dibesarkan di rumah ini di tanah ini, di wilayah ini. Kini harus ku
relakan semuanya untuk di jual. Rumah besar dan indah sudah ku persembahkan dan
menunggu orang tuaku menjadi penghuninya.
Tibalah di Jakarta, pertama kali ku
ajak Ayah dan Ibu ke Mall dan makan siang. Beliau tidak bisa menggunakan sendok
dan garpu, takut ketika naik lift dan
eskalator dan tidak mau dibelikan
pakaian. Menurut beliau baju disini mahal-mahal. Setelah dari mall, kami
bergegas kembali ke rumah untuk mempersiapkan pakaian untuk besuk pas wisuda. Detik-detik menjelang wisuda ku gandeng kedua
tangannya utuk mengikuti prosesi wisuda. Ku tatap wajah Ayah dan Ibu, beliau
terlihat bahagia menyaksikan anaknya yang lulus wisuda dan mendapat gelar
S.Ked. di panggilnya “ANANDA DIMAS GINARTA KURNIA,S.Ked sebagai dokter muda
berprestasi” ujar pembawa acara wisudawan periode 1. Setelah acara wisuda
selesai, sekali lagi ku peluk Ayah, Ibu seraya berkata “Batu merah, semerah
darah, yang menjadikanku seperti ini. Orang yang tidak punya menjadi punya
karena ketekunan, doa orang tua dan usaha. Terima kasih Ayah, Ibu kini anakmu
sudah mendapatkan gelar dokter. Cita-cita yang dulu akhirnya tercapai”.
Kuliah kedokteran dibutuhkan ketulusan hati. Selain dibutuhkan otak
yang memenuhi standar, dibutuhkan pula keikhlasanmu. Kamu harus betul-betul
ikhlas untuk menjadi seorang dokter. Bukan karena kamu ingin kaya. Jadilah
dokter yang siap ditempatkan di manapun, ditempat sangat terpencil di ujung
Indonesia sekalipun. Karena dokter, adalah pekerjaan mulia yang memang
bertujuan untuk memperbaiki kesehatan bangsa. Kalau kamu mau jadi dokter tapi
maunya kerja di kota saja, artinya kamu sudah menghianati ketulusan dari
profesi dokter itu sendiri.”(Fachrurro)
Kuliah
S1, Koass, UKDI, Sumpah dokter, Intership sudah kulalui dan kini aku bisa
membuka praktik sendiri. Tiba-tiba pikiranku melayang, pekerjaan, rumah, mobil,
jabatan sudah ada. Ada yang kurang yaitu pendamping hidup. Ku baringkan badan
ke tempat tidur yang halus dan lembut sambil membuka kontak HP. Ku tekan
panggilan keluar untuk menelfon seorang gadis, yang namanya masih aku simpan
rapat-rapat dalam hati.
“Haloo,
selamat malam, maaf dengan siapa ini” suara gadis itu.
“selamat
malam, apakah ini benar Anjani yang kuliah di UI jurusan Farmasi? Ku beranikan
bertanya untuk mencairkan suasana.
“Ia,
bettul, dengan siapa ini?
“saya
Dimas anak Palembang, masih ingatkah engkau?
“ow,
Dimas, apa kabar? Lama sekali kamu tidak menghubungiku sudah lebih 6 tahun”
“kabar
baik Anjani, maaf ku tak sempat kasih kabar, karena aku terlalu sibuk”
“mengapa
menelfonku? Bukankah kamu sibuk saat ini”
“apakah
hari ini ada waktu jam 08.00 wib? Aku berencana mengajakmu jalan” kataku
langsung ke tujuan.
“Oke,
ketemuan di HI ya” kata Anjani
Aku
kaget mendengarnya, tak pernah ku bayangkan bahwa dia mau. Padahal kami jarang
bertemu.
“
Iya Anjani, ku tunggu engkau jam delapan tepat, selamat malam” ku tutup telefon
genggamku untuk mengakhiri percakapan itu.
Malam
ini petanda hasrat dua hati merengkuh harmoni. Dua hati yang telah kita suka,
pada selembar daun. Lalu berlahan-lahan kita tetap dengan suka cita. Buih-buih
mengalir pada ujung batang yang ringkih. Mengais bunga-bunga yang rontok pada
musim kemarau ini. Janji putih terukir pada dua bongkah batu abadi. Menjalar
lewat asing yang turut membisu. Kabut tipis turun berlahan pada malam sesunyi
ini. Tanpa masalahkan untuk apa kita berdiri di biduk kasih. Akhirnya pada
ranum bulan keseribu ingin daku liriskan pada telingamu aku mencintaimu. Tepat
di Bundaran HI, dibawah gemerlap lampu dan percikan air yang membasai muka. Aku
menyatakan rasa cinta kepada seorang gadis yang meluluhkan hatiku. Gadis itu
bernama “Anjani Kirani Laurensia”. Keberuntungan bagiku gadis cantik itu
menerimaku untuk menjadi suaminya. Anjani gadis yang aku taksir di awal
perkuliahanku. Ia mengambil study Fakultas
Farmasi di UI juga. Ternyata Anjani juga mencintaiku dan memendam rasa yang ia
sembunyikan bertahun-tahun.Tiga bulan pacaran dan saling mengenal. Setelah itu
kami menikah dan hidup bahagia di Jakarta dengan ekonomi yang sangat
berkecukupan. Jodoh,Rejeki, mati, hidup adalah rahasia ilahi. Batu merah
semerah darah yang menghantarkanku menuju kesuksesan.
Apa
yang ingin kamu genggam kamu dapatkan
Apa
yang ingin kamu dapatkan kamu miliki
Apa
yang ingin kamu miliki itu terjadi
(Jihan
Novita Sari, S.Pd SM3T UNJ Angkatan V. Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1
Titehena)
Komentar
Posting Komentar